Selasa, 16 Juli 2019

Bijak Ajak Anak Menonton di Bioskop


Assalamualaikum ibu profesional Banten, siapa nih yang kemarin nggak sempat mendengarkan siaran bu Restu Dan bu Tia di radio? Jangan sedih, Kita baca Aja yuk materinya disini.

Menonton film, terutama di bioskop dapat menjadi aktivitas pelepas stress yang menyenangkan. Apalagi jika pergi ke bioskop bersama orang – orang tercinta. Namun sayangnya, orang tua yang memiliki anak balita seringkali kesulitan untuk dapat menonton film di bioskop. Mengajak anak kecil ke tempat umum memang membutuhkan kerja ekstra. Tidak seperti orang dewasa yang mampu duduk diam dalam waktu lama, anak – anak cenderung cepat bosan. Namun tidak semua orang memiliki “kemewahan” bisa menitipkan anak mereka pada orang tua atau pengasuh. Alhasil sebagian orang tua memutuskan membawa anak mereka ke bioskop.
Kini semakin banyak orang tua yang membawa balita bahkan bayi ke dalam bioskop. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan: Bolehkah mengajak bayi ke bioskop? Kapan sebenarnya anak bisa ikut ke bioskop bersama orang tuanya?
Hingga saat ini, perdebatan mengenai boleh atau tidaknya bayi (di bawah usia 1 tahun) dibawa ke bioskop belum mencapai titik terang. Ada orang tua yang menganggap boleh-boleh saja, namun tidak sedikit yang dengan ketat melarang bayi berada di bioskop, mulai dari alasan kesehatan hingga urusan etika orang tua di bayi itu sendiri.
Psikolog anak, Ratih Zulhaqqi, termasuk salah satu orang yang melarang orang tua untuk membawa bayinya ke bioskop. Menurutnya, membawa bayi ke bioskop menandakan buruknya kontrol diri orang tua yang tidak mendahulukan kepentingan anak di atas kepentingan pribadinya. Pasalnya, jika ibu ingin hiburan untuk melepas stres selama berada di rumah, ibu bisa menonton film lewat streaming atau memilih hiburan lain.
Meski banyak mengundang kontroversi, tidak sedikit ibu yang beralasan bahwa mereka butuh untuk melakukan aktualisasi diri, salah satunya dengan pergi ke bioskop. Ibu pantas mendapat hiburan dalam bentuk apapun demi menghindari stres dalam merawat bayi, terlebih jika ibu tidak memiliki asisten dalam mengurus bayi.

Perspektif literasi media

Pada bulan April 2019 lalu, WHO mengeluarkan satu set guidelines terbaru tentang perkembangan bayi dan anak terkait paparan media berlayar dan rekomendasi screen time untuk mereka. Salah satu yang harus di-highlight adalah pembahasan mengenai bayi (di bawah usia 1 tahun seharusnya tidak terekspos layar dari media elektronik, tak terkecuali layar lebar (bioskop). Guidelines ini berasal dari penelitian-penelitian terkait di bidang kesehatan anak yang dilakukan selama bertahun-tahun yang juga menguatkan rekomendasi AAP (American Academy of Pediatrics) yang melarang paparan layar elektronis untuk anak di bawah usia 2 tahun. Dalam guidelines versi WHO ini menyebutkan bahwa membatasi atau bahkan mengeliminasi screentime untuk anak di bawah usia 5 tahun akan menciptakan masa dewasa yang lebih sehat dan bahagia.
Di Indonesia sendiri memang belum ada kajian se-komprehensif seperti yang dilakukan AAP apalagi WHO. Namun para aktivis literasi media bersama hasil kajian-kajian psikologi cenderung untuk melarang paparan layar elektronis bagi anak. Sedangkan dalam kasus film bioskop, hal ini diperkuat dengan lemahnya regulasi dari pemerintah maupun kesadaran dari pengusaha bioskop untuk mengatur pembelian tiket yang disesuaikan dengan klasifikasi usia sebuah film. Pemerintah yang dalam hal ini berwujud LSF (lembaga sensor film) hanya mengkaji, melakukan sensor, dan memberikan klasifikasi usia SEBELUM film tersebut tayang di bioskop. Namun kebijakan penjualan tiket adalah milik pengusaha bioskop sepenuhnya.
Maka dari itu, posisi orang tua menjadi krusial dalam hal ini. Pilihan mengajak anak usia bayi dan balita ke bioskop makin pun makin menjadi sesuatu yang populer. Namun apakah film yang dipilih oleh orang tua untuk hiburan keluarga mereka ini sudah sesuai dengan usia seluruh anggota keluarga? Atau malah fungsi menonton bioskop adalah hiburan bagi orang tua yang ingin menonton film populer atau aktor favorit tanpa aktif memikirkan apakah konten film tersebut aman untuk anak. Jadi siapa menemani siapa?
Di dunia sinematografi, dikenal istilah klasifikasi usia. Hal ini akan berhubungan dengan target penonton dan distribusi film. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian klasifikasi usia bagi sebuah film dipengaruhi oleh jalan cerita (yang tidak menyinggung SARA atau berpotensi menimbulkan konflik atau mungkin apakah sekedar terlalu njelimet untuk penonton pahami), adegan kekerasan, adegan seksual, nudity, hingga dialog kasar.
Di Indonesia pemberian klasifikasi usia dilakukan oleh LSF yang akan mengeluarkan STLS (surat tanda lulus sensor) yang menyertakan kode-kode klasifikasi usia. Kode ini wajib untuk diperlihatkan dalam review di situs distributor film, tiket penjualan dan ditayangkan sebelum film dimulai. Terdapat lima kode yang harus orang tua hafal dan menjadi bahan pertimbangan saat memilih film yang akan ditonton bersama anak di bioskop. Kelima kode tersebut adalah:
  1. SU (semua umur): Ada unsur pendidikan, budaya, budi pekerti atau hiburan sehat. Juga tidak mengandung adegan atau dialog kekerasan, seks, takhayul, horor/sadis yang dapat mengganggu perkembangan anak. Beberapa film keluarga dengan klasifikasi usia ini antara lain: Keluarga Cemara, Kulari ke Pantai, Koki-koki Cilik.
  2. 13+ (13 tahun ke atas): berisi tema tentang kehidupan peralihan anak menjadi remaja. TETAPI tidak boleh menampilkan adegan atau dialog yang rawan ditiru remaja seperti pergaulan bebas atau penggunaan narkoba.
  3. 17+ (17 tahun ke atas): Ada nilai pendidikan budi pekerti. Terdapat adegan atau dialog yang memasukan unsur seksual asalkan proporsional dan bagian dari edukasi. Adegan atau dialog kekerasan pun ditampilkan asal tidak ada unsur sadisme.
  4. 21+ (21 tahun ke atas): Judul, tema, adegan ditujukan untuk dewasa. Tetapi adegan seksual aupun sadisme tentunya sudah hasil sensor. Bahasa yang vulgar pun acapkali ditampilkan karena dengan sasaran usia ini, penonton dinilai cukup matang untuk menilai dengan bijak.
Klasifikasi usia ini baru ditetapkan tahun 2014, mungkin pada saat kita kecil lebih dikenal dengan istilah SU, R (remaja), dan D (dewasa atau 17 tahun ke atas). Sedangkan untuk film-film yang diimpor dari luar negeri, pemberian klasifikasi usia ini tetap diberikan oleh LSF jika akan ditayangkan di bioskop Indonesia. Namun sebagai bahan rujukan, ayah bunda juga bisa mencari tahu klasifikasi usia sebuah film versi Hollywood melalui situs film tersebut atau IMDb.com yang memiliki fitur parental guide dimana kita bisa tau adegan/dialog apa yang berpotensi berbahaya untuk anak.
Jika di Indonesia kita memiliki 4 klasifikasi usia, untuk versi Hollywood yang syarat klasifikasi usia dikeluarkan oleh MPAA (Motion Picture Association of America). Ada 5 kode yaitu: G (general audiences/semua umur), PG (parental guidance suggested/perlu pendampingan orang tua), PG 13 (remaja meskipun dan orang tua harus mendampingi karena film jenis ini memiliki material yang inappropriate untuk remaja), R (restricted. Mengandung adult material), dan NC 17 (hanya untuk dewasa di atas 17 tahun).
Pemerintah melalui LSF atau lembaga yang terkait dengan anak mendorong orang tua untuk melakukan sensor mandiri dengan program MMT (memilah dan memilih tontonan) sebelum membeli tiket bioskop. Tentunya hal ini bukan tanpa sebab karena mereka sudah mempertimbangkan efek buruk apa yang akan terjadi pada anak jika terpapar tontonan yang tidak diperuntukan untuk usianya.
Hal lain yang bisa dilakukan oleh orang tua terkait mengajak anak menonton bioskop adalah membudayakan diskusi baik sebelum dan sesudah menonton bioskop. Tentunya hal ini hanya bisa dilakukan kepada anak yang berusia di atas 5 tahun ya. Hal ini untuk membiasakan orang tua dan anak untuk aktif membahas sebuah film baik tentang kontennya ataupun perasaan/pendapat anak mengenai apa yang ia tonton. Terutama jika dalam film tersebut ada adegan kekerasan. Adegan inilah yang paling potensial dan sangat cepat untuk ditiru anak. Sedangkan untuk anak di bawah usia tersebut, orang tua harus sangat aktif dan cermat mengamati bagaimana reaksi anak saat dan sesudah menonton. Apakah ada perubahan yang signifikan setelah dibawa ke bioskop? Hal ini tentunya berkaitan dengan perkembangannya secara keseluruhan.

Dampak terhadap perkembangan bayi dan balita

  1. Suara keras memberikan efek buruk bagi bayi dan balita
    Bayi dan balita cenderung memiliki pendengaran yang sangat sensitif. Hal ini disebabkan oleh kondisi bayi yang memang sangat memperhatikan suara-suara yang ada di sekitarnya sebagai salah satu cara untuk mempelajari hal-hal baru. Dengan sering mendengar suara dengan tingkat desibel yang tinggi, maka bagian dalam telinga bayi, khususnya koklea, bisa mengalami kerusakan.
    Meskipun bayi tidak rewel atau tidur selama film di bioskop diputar, kerap membawa bayi menonton film bisa merusak pendengaran mereka dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan oleh nyaringnya suara yang ada di dalam bioskop. Suara yang ada di dalam bioskop bisa mencapai 85 desibel (db) dan  level suara ini bahkan bisa meningkat jika di dalam film terdapat suara ledakan atau teriakan, seperti suara tembakan, tabrakan, suara mengagetkan dan lainnya bisa mencapai angka 98db yang setara dengan suara kereta lewat atau suara take off pesawat terbang. Film animasi 'Stork' yang ditujukan untuk anak-anak memiliki kisaran suara 85db, tetapi ada satu adegan dengan suara yang mencapai 99.3db. Sedangkan, film 'Deepwater Horizon' yang penuh dengan adegan ledakan memiliki suara yang mencapai 104.9db.
Para ahli dari American Academy of Pediatrics menyebutkan bahwa jika sampai bayi sering mendengarkan suara hingga lebih dari 45 desibel, maka resiko untuk mengalami gangguan akan meningkat. Bahkan, jika bayi sampai mendengar suara dengan level 90 desibel atau lebih selama 15 menit, maka mereka akan lebih rentan terkena gangguan pendengaran yang permanen. Toleransi kebisingan maksimal yang dapat diterima oleh anak kecil adalah 85db, sedangkan untuk bayi berada pada kisaran 50db. Suara percakapan normal (bukan di bioskop) berkisar di angka 60db. Paparan suara di atas 85 desibel dalam jangka waktu lama, terutama pada anak kecil, dapat mengakibatkan Noise-Induced Hearing Loss (NIHL) atau hilangnya kemampuan pendengaran karena faktor kebisingan).

  1. Dampak traumatik dan hiposensitif
Paling aman membawa anak ke bioskop adalah saat anak berusia di atas 7 tahun. Pada usia ini anak sudah mengerti jalan suatu cerita dan bisa duduk tenang lebih dari 1 jam.  Menurut ahli Psikologi Swiss, Jean Piaget. Perkembangan kognitif anak terdiri dari 4 tahap yakni tahap sensorimotor (0-2) tahun, tahap praoperasional (8 - 7 tahun) tahap operasional konkrit (7-12 tahun) dan tahap operasional formal (12-18 tahun)
Pada tahap sensorimotor, perkembangan kognitif anak masih dalam tahap awal. Pengalaman pertama sangat penting bagi anak. Jika anak melihat atau mendengar sesuatu yang membuat anak merasa tidak nyaman seperti suara menggelegar di bioskop di dalam sebuah ruangan gelap, bisa jadi membuat pengalaman traumatis bagi anak. Sebaliknya, jika anak dibiasakan menonton film di bioskop maka anak bisa mengalami hiposensitif dengan suara keras sehingga tidak peduli dengan suara di lingkungannya. Jadi bisa disimpulkan bahwa membawa anak di bawah usia 2 tahun akan berakibat buruk bagi perkembangan kognitifnya.
Pada tahap operasional  konkret, anak sudah mulai menggunakan aturan – aturan yang jelas dan logis. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis meskipun hanya pada benda yang bersifat konkrit. Karena itu, usia 7 tahun dianggap sebagai usia yang tepat untuk mengajak anak menonton film di bioskop/ Anak sudah mengikuti urutan film dan menggunakan pemikiran logis.
  1. Dampak perkembangan perilaku
Jika dikaitkan dengan teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg, penalaran seorang anak terbagi menjadi tiga yakni penalaran prakonvensional, konvensional dan pascakonvensional.
Bayi dan balita masih menjalani tahap penalaran prakonvensional yaitu penalaran moral berdasarkan imbalan dan hukuman eksternal. Saat inilah balita akan memahami konsep kepatuhan dan hukuman. Saat anak patuh maka tidak akan ada hukuman. Pada tahap ini, anak belum bisa membedakan perilaku baik dan buruk sehingga saat mengajak anak menonton film yang mengandung unsur kekerasan (meskipun film kartun), anak bisa saja langsung meniru karena belum memiliki kemampuan untuk membedakan perilaku baik dan buruk. Jika anak terbiasa melihat adegan kekerasan maka anak akan menyadari tidak ada hukuman atas kekerasan tersebut dan anak akan mengikuti perilaku tersebut

Tips Membawa bayi dan balita ke bioskop

Idealnya, anak-anak, terutama bayi dan balita tidak boleh dulu diajak nonton bioskop sampai mereka benar-benar siap. Siap dalam artian perkembangannya sudah matang, dan siap secara psikologis untuk mencerna tayangan yang tersaji di layar.
  1. Sebagai orang tua, tetap berfikir aktif dan kritis untuk memilah tempat hiburan yang nyaman dan cocok untuk anak, terutama bayi dan balita.
  2. Jika sangat terpaksa harus mengajak bayi dan balita nonton bioskop, bawalah anak ke bioskop yang memiliki fasilitas bioskop khusus untuk anak dan keluarga. Bioskop ini telah menyesuaikan tingkat volumenya lebih rendah serta pencahayaan yang lebih terang agar sesuai dengan kebutuhan anak. Pun pemilihan film yang memang hanya diperuntukan untuk anak.
  3. Hindari untuk menonton film dengan klasifikasi usia dewasa atau remaja. Karena secara konten, film jenis ini tentunya tidak pantas untuk ditonton bayi dan balita. Meskipun secara general mereka belum paham dengan apa yang tersaji, namun paparan konten dewasa dapat mempengaruhi perkembangan kognitif mereka.
  4. Baca review film terlebih dahulu, menonton trailer dan minta pendapat orangtua lain yang sudah pernah menontonnya, apakah konten film tersebut sesuai untuk Si Kecil atau adakah adegan yang tidak pantas untuk mereka tonton..
  5. Pemilihan waktu untuk menonton film disesuaikan dengan rutinitas anak. Misal jangan saat jam tidur siang atau malah terlalu malam. Hal ini bisa menyebabkan anak cranky dan mengganggu rutinitas tubuhnya.
  6. Datanglah lebih awal dan ajak Si Kecil berkeliling. Ini akan membuat Si Kecil beradaptasi dengan lingkungan baru dan merasa nyaman.
  7. Anda juga bisa memasangkan sumbat telinga pada si kecil untuk mencegah risiko gangguan pendengaran pada bayi.
  8. Jika bayi menunjukkan tanda-tanda bosan atau tidak nyaman, segeralah keluar dari bioskop untuk menenangkannya sebelum anak mulai rewel. Suasana yang tidak nyaman, ditambah dengan suara berisik yang ia dengar dari tayangan tersebut dapat membuatnya semakin rewel.
  9. Hindari menonton film dalam bentuk 3D, dan pilihlah film  reguler.
  10. Bawa mangkuk kecil untuk meletakkan sebagian popcorn untuk Si Kecil..
  11. Hindari membawa Si Kecil ke bioskop yang penontonnya terlalu ramai. Bisa jadi Si Kecil akan merasa kurang nyaman.
  12. Pilih kursi yang dekat dengan pintu keluar. Ini akan memudahkan Anda membawa Si Kecil keluar apabila ia rewel dan tantrum sehingga tidak mengganggu pengunjung yang lain. Namun jika kursi tersebut sangat dekat dengan layar, setidaknya pilih kursi yang paling memudahkan kita keluar.
  13. Meskipun tujuan orang tua datang ke bioskop adalah untuk menonton film, namun jika si kecil mulai tidak nyaman dan sukar dikendalikan, jangan sisihkan mereka apalagi menghitung kerugian tiket yang sudah dibeli. Pasti selalu ada konsekuensi.

Simpulan
Meskipun kebijakan dan pengawasan penjualan tiket film bioskop yang masih lemah dapat memungkinkan untuk Anda menonton film dengan membawa bayi, anak di bawah umur, atau menonton film dengan rating yang kurang sesuai, tanggung jawab tetap berada di tangan Anda. Harus tetap melakukan sensor mandiri bahkan dimulai dari pikiran. Untuk para orangtua, terutama para ibu, apalagi yang merupakan penggemar film, menonton bioskop memang menjadi waktu me-time yang sangat penting. Happy mother makes a happy child, right? Namun, ada beberapa alternatif yang dapat Anda lakukan untuk menghindari potensi bahaya kesehatan baik fisik maupun psikologis dari menonton bioskop pada anak, misalnya menonton bergantian dengan sang suami, menitipkan anak pada kerabat, atau menonton DVD di rumah, yang juga tak kalah seru.

Referensi:
https://www.google.com/amp/s/doktersehat.com/dampak-membawa-bayi-ke-bioskop/amp/
https://www.motherandbaby.co.id/article/2017/3/11/7789/7-Tips-Mengajak-Balita-ke-Bioskop
https://www.ibupedia.com/artikel/keluarga/7-tips-saat-membawa-bayi-ke-bioskop
https://www.google.com/amp/s/journal.sociolla.com/lifestyle/membawa-bayi-ke-bioskop/amp/

Disusun untuk Ruang Keluarga Harmony FM hari Rabu tanggal 10 Juli 2019 oleh:
  1. Restu Anjarwati
  2. Meiftia Eka P
Previous Post
Next Post

Prakata Salam Hangat, Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh Semangat pagi, IPers Banten! Blog ini berisi berbagai informasi seputar pengasuhan dan pendidikan anak, tentu saja segala sesuatu yang berkaitan dengan seorang wanita. Di sini kami sebagai media untuk menyimpan berbagai informasi penting yang diperlukan khususnya bagi Ibu profesional regional Banten dan juga kepada seluruh lapisan masyarakat pada umumnya. Terima Kasih Salam Sayang Admin Blog, MoRry

1 komentar:

  1. numpang promote ya min ^^
    buat kamu yang lagi bosan dan ingin mengisi waktu luang dengan menambah penghasilan yuk gabung di di situs kami www.fanspoker.com
    kesempatan menang lebih besar yakin ngak nyesel deh ^^,di tunggu ya.
    || WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    BalasHapus

Tulis komentarmu di sini ....