Finding Happiness
Oleh : Meiftia
*****
"Relax Bun…"
Entah kesekian milyar kalinya kalimat pendek itu keluar dari mulut pak suami maupun muncul di percakapan WhatsApp kami.
"RELAX GIMANA? Lyla begini, Ican begitu!" Lalu rentetan keluh kesah saya pun keluar tanpa bisa disaring apalagi ditahan.
Pak suami kadang menanggapi, kadang juga lebih banyak diam. Tapi endingnya sama, meminta saya beristirahat, bahagia, dan bersyukur. Saya? Saya sungguh tak tahu bagaimana melakukan ketiganya.
*****
Sekalipun sebagai seorang muslimah saya paham bahwa ujian dari Allah adalah bagian dari pembuktian keimanan. Tapi tak pernah terlintas di benak saya bahwa bentuknya adalah masalah kesehatan duo ALIF kesayangan. Lyla tanpa terduga mengalami kejang yang jika dibiarkan berlarut bisa merusak lobus temporal otak-nya. Sementara Ihsan sedari usia 6 bulan rajin menyambangi dokter spesialis anak, subspesialis gastroenterolog i karena GERD-nya. Tidak bisa dipungkiri, masalah saluran cernanya jadi menimbulkan masalah lain yang memengaruhi proses tumbuh kembangnya.
Ada masa dimana saya merasa semua energi tercurah hanya untuk kesembuhan keduanya. Sambil tertatih memahamkan diri sendiri bahwa ujian ini adalah bagian dari hidup, saya harus beradaptasi dan kompromi dengan kondisi. Kalau bukan saya yang berada di sisi mereka melewati hari demi hari berikhtiar agar tetap sehat, maka siapa lagi?
Sayalah manusia yang diamanahkan langsung oleh Allah untuk dititipi dua malaikat luar biasa ini. Sayalah manusia yang merasakan mereka bertumbuh semenjak dari dalam rahim saya. Bahkan mungkin sayalah yang punya andil membuat mereka sakit, maka sayalah juga yang harus bertanggung jawab.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, dan kemudian saya kehilangan hitungan waktu… Saya lupa saya ‘siapa’? Saya ingin menjadi apa? Satu-satunya misi hidup saya adalah memastikan duo ALIF dalam kondisi kesehatan terbaik mereka. Saya menarik diri dari semua lingkungan yang sudah membesarkan diri dan memperkaya ilmu serta pengalaman saya, hanya untuk bisa mengawasi mereka berdua. Sungguh, tak ingin kehilangan waktu bersama mereka yang begitu berharga.
Alhamdulillah. Setahun berlalu dari pertama kali saya dan suami mendengar para dokter mendiagnosis keduanya, Lyla dan Ican membaik. Bahkan progres mereka tidak pernah tidak menggembirakan setiap bulannya.
Kunjungan demi kunjungan ke rumah sakit, menikmati dinginnya ruang MRI, konsultasi pengobatan alternatif sana-sini, puas dengan bebauan obat-obatan, sampai saya bebal keluar masuk lab menemani keduanya tes ini itu dengan jarum-jarum yang bergantian menusuk tubuh mereka. Goncangan finansial jangan ditanya. Ini bagian ikhtiar saya sebagai ibu… saya yakini itu.
Perkembangan mereka luar biasa. Anak-anak aktif, santun, cerdas, dan ceria… Tapi semua ada konsekuensinya, saya lupa siapa 'saya' dan apakah saya masih berdaya selain untuk anak-anak dan suami saya?
Harusnya, di balik anak yang ceria, ada ibu yang bahagia. Tapi keluarga kami tidak. Di balik anak-anak yang luar biasa, ada Ibun yang kehilangan dirinya.
*****
"Relax Bun…" Suami saya kembali mencoba berempati dengan kondisi saya yang berubah 180° sejak memutuskan menjadi full time mother agar bisa 24 jam membersamai duo ALIF.
"Mereka akan baik-baik aja Bun insya Allah. Tapi aku khawatir kamu yang nggak baik-baik aja." Ucapnya lagi. Bukan tanpa alasan, berkali-kali ia jadi saksi dan merasakan sendiri gejolak emosi saya yang luar biasa.
"Help me…" Saya terisak.
"You know I will…" Ucapnya menenangkan. "Kamu butuh apa?"
*****
Ia pun menepati janjinya. Mendampingi dan membayari apapun yang bisa membuat saya bahagia. Terapi demi terapi saya ikuti untuk mengembalikan status kesehatan mental saya. Sambil tak putus berdoa agar semua ikhtiar ini tidak sia-sia.
Saya membaik, makin membaik, grafik kebahagiaan saya pun naik. Tapi tetap ada yang kurang. Kebahagiaan saya sungguh tak lengkap tanpa dibagikan dengan orang lain di luar keluarga saya. Apalagi konon kepribadian saya bertipe ESFJ yang selalu gatal untuk berbagi dan bekerja sama dengan orang lain dalam harmoni kebaikan.
"Aku mau cari aktivitas…" Saya pun membuka percakapan dengan pak suami.
"Oh, harus itu!" Serunya antusias. Pada dasarnya ia paham tentang energi saya yang meletup-letup. Rumah mungil kami tentulah tak cukup menampungnya.
"Mau apa? Jualan? Balik kerja? Nyoba ngajar lagi?" Tanyanya kepo berfaedah.
"Ikut Ibu Profesional!" Seru saya dengan tampang datar tapi intonasi bersungguh-sung guh.
Dia senyum menggoda, "Boleh, tapi jangan baper ya kalau gagal masuk lagi."
Saya tergelak mengingat perjuangan mendaftar kelas matrikulasi beberapa kali sebelumnya, selalu gagal memenuhi tenggat waktu pendaftaran! Terakhir kali, kuota sudah penuh di 15 menit pertama sejak waktu pendaftaran dibuka. Sungguh menyesakan dada!
"Insya Allah nggak gitu lagi, aku udah tau strateginya…" Ucap saya pede.
*****
Lima bulan berlalu sejak saya memutuskan mendaftar IIP, ikut kelas foundation, dan matrikulasi, kemudian dinyatakan lulus. Saya berdiri lagi di depan orang banyak untuk mengisi materi parenting.
Saya yang jauh lebih baik. Saya yang sudah bisa mengolah rasa. Saya yang sudah merasakan sakitnya menjadi manusia tak berdaya. Saya yang sudah bisa mengatasi kebuntuan dari pertanyaan hasil renungan diri sendiri, "Sebenarnya aku diciptakan buat apa?"
Ada tangan Allah yang begitu baik untuk hamba yang kadar imannya turun naik macam saya. Ia memeluk saya dan memandu saya untuk menemukan sebuah tempat yang istimewa lagi. Dimana saya bisa belajar untuk menjadi ibu, istri, dan terutama menjadi diri sendiri yang lebih baik lagi. Tempat itu bernama Institut Ibu Profesional, terutama regional Banten.
Saya paham kenapa dulu saya selalu gagal mendaftar. Karena Allah ternyata menginginkan saya untuk berada di batch ini. Bertemu 70 saudari dalam waktu sekejap saja dengan satu frekuensi misi yang kuat. Mendapat fasilitator jelmaan bidadari yang tidak pelit ilmu dan selalu terbuka untuk diskusi. Nilai tambahnya, saya memupuk kepercayaan diri saya kembali dengan mengambil peran menjadi ketua kelas.
Allah Maha Dahsyat dengan segala rencana baik-Nya untuk saya.
Tugas demi tugas yang diberikan (dimana kami menyebutnya NHW alias nice homework), tak ada penilaian benar atau salah. Di setiap pekan membuat tugas, saya dipaksa kembali untuk mengulik diri sendiri.
Saya mau menjadi expert di bidang apa?
Bagaimana seharusnya saya memanfaatkan waktu saya?
Apa peran saya di dunia ini?
Apa visi misi hidup saya?
Apa kekuatan fitrah saya?
Apa yang bisa saya perbuat untuk membuat perubahan sosial?
Bagaimana seharusnya saya memanfaatkan waktu saya?
Apa peran saya di dunia ini?
Apa visi misi hidup saya?
Apa kekuatan fitrah saya?
Apa yang bisa saya perbuat untuk membuat perubahan sosial?
Kemudian saya tersadar dan terbangun kembali. Ini bukan saatnya lagi bermimpi, tapi bangun dan berlari menuju titik yang sudah Allah perintahkan untuk saya tempati dan memaksimalkan peran saya di muka bumi.
Alhamdulillaahi l-ladzii bini’matihi tatimmush-sholi haat.
Allah pun memerintahkan semesta mendukung perubahan dan perbaikan diri saya. Satu per satu tawaran untuk mengisi kegiatan parenting atau literasi media pun kembali berdatangan. Mungkin saya setahun lalu akan auto-menolak. Tapi kali ini berusaha mempertimbangka n dari berbagai sisi untuk mengiyakan.
Saya berilmu, maka saya harus membaginya.
Saya percaya bahwa saya berdaya.
Saya paham bahwa berbagi adalah proses untuk berbahagia.
Menjadi bagian dari komunitas Ibu Profesional adalah salah satu jalannya...
Saya percaya bahwa saya berdaya.
Saya paham bahwa berbagi adalah proses untuk berbahagia.
Menjadi bagian dari komunitas Ibu Profesional adalah salah satu jalannya...
*****
“Ibuku adalah ibu profesional kebanggaan keluarga. Ibu, terima kasih ya sudah menjadi ibu yang keren, luar biasa, dan terus berusaha sebaik-baiknya. I love you Ibu..."
Suara merdu Lyla mengalun mengiringi visual manisnya. Walaupun ada gangguan kecil dari Ihsan, Lyla percaya diri menghadapi kamera. Ia memberikan testimoni mengenai ibunnya yang baru saja lulus belajar di kelas matrikulasi Ibu Profesional. Biidznillah, videonya terpilih untuk diputar saat wisuda online.
"So sweet ya Bun…" Pak suami senyum-senyum sendiri menonton layar YouTube yang menampilkan dua anaknya dan secuil ruang keluarga kami.
"I really adore her. She is amazing kalo soal beginian!" Seru saya antusias.
"Kamu Ibunya…"
Saya nyengir. Biasanya kalau ada hal baik dari anak-anaknya, pak suami mengklaim itu karena genetiknya.
“Insya allah semua baik-baik aja ya Ay?” Tanya saya.
“Walaupun nggak baik-baik aja, kita lebih siap. Kamu lebih kuat. Insya Allah." Ucapnya serius.
"Aamiin ya Allah!" Saya memberikan senyum tulus terbaik saya.
******
Beberapa pekan lalu Lyla kembali kejang karena kelelahan setelah full sepekan berkegiatan. Di saat bersamaan, Ican pun mendadak demam tinggi melawan virus influenza.
Cobaan lagi?
Hmmm saya kini menyebutnya sebagai ujian konsistensi kesabaran dan keikhlasan. Insya Allah sudah lebih lihai mengolah rasa dan memetakan strategi untuk mengatasi hal-hal seperti ini.
Sungguh bersyukur bahwa saya dan suami segera tanggap untuk mengatasi semuanya. Gejolak emosi dan rasa lelah pastilah ada. Tapi benar kata pak suami, kami lebih siap dan saya lebih kuat. Maka meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja hingga kekhawatiran pun sirna dalam tempo sesingkat-singk atnya.
Subtitusi saja rasa khawatir dengan doa.
Semoga bisa terus bereskalasi. Semoga ya Allah, semoga… Dengan izinmu, aamiin.
*****
"Secret to happiness is in 3 things: sabr, shukr and ikhlas."
Serang, 10 Ramadhan 1440 H.
Tabik,
Ibun Tia
Tabik,
Ibun Tia
Pingin nangus bacanya bun.... Benar² terharu dan membuat terenyuh hati ini....
BalasHapus